Maryam
masih duduk menunggu ayahnya menjemput. di depannya banyak orang sudah
berseliweran mengejar kereta api yang bunyi peluitnya sudah terdengar. Ia
menekuri keramik di bawahnya, sambil berpikir.
‘ ah..aku kembali lagi ke desa. Bagaimana ibu
dan bapak serta Rina ya ? aku kangen.’
Ia
membuka tasnya dan mengecek apakah ia sudah yakin membawa oleh-oleh untuk ibu,
ayah dan Rina (adiknya). Ia lihat kembali jam tangannya, waktu sudah
menunjukkan pukul 5 sore. Biasanya, dulu, jam segini ayah baru saja pulang dari
kerja. Maklum, ayah hanya seorang guru, dan gajinya tidak besar, terlebih lagi
ini desa. Tapi, entahlah sekarang, ayah sudah semakin tua. Umurnya sudah lebih
dari setengah abad. Hari semakin sore, namun sosok sang ayah belum juga
terlihat. Maryam jadi semakin khawatir, apa ayah lupa ia datang hari ini. Ah
tidak mungkin. Cepat ia tepis pikiran itu. Maryam kembali melihat jam
tangannya, jam setengah enam sore. Ia semakin cemas, stasiun juga makin sepi.
Angin lalu menghembuskan bau minyak wangi yang ia kenal. Bau minyak wangi tua
yang dijual oleh pedagang asongan di pasar Senin. Ia menoleh pada arah minyak
wangi itu datang. Dari kejauhan, ia lihat sosok itu kembali. Penuh dengan
keringat yang membasahi wajahnya yang sudah mulai berkerut disana-sini. Ia berusaha
memperlihatkan wajah senangnya dan menyembunyikan wajah lelahnya. Maryam
seketika berdiri dan berlari menghampiri ayahnya. Dipeluknya tubuh lelaki yang
kini lebih pendek darinya. Maryam menangis sangking rindunya ia pada sang ayah.
Ayahnya sebenarnya senang, namun tetap bersikap tenang. Ia elus kerudung Maryam
dengan lembut. Ia bisikan sesuatu pada anak tercintanya itu.
“
wes..ndok. ojo nangis. Mulih yuk..”
Maryam
melepas pelukannya, mengusap air matanya dan tersenyum, tak ingin ayahnya
khawatir. Ia lalu membopong tas ranselnya menuju sepeda motor ayah. Sepeda
motor itu masih sama, butut dan tua. Maryam jadi ingin membelikan ayahnya
sepeda motor baru jika nanti ia punya uang yang cukup. Perjalanan menuju rumah
amat jauh. Sempat ia mampir sejenak untuk salat maghrib di langgar yang ia
lewati. Saat sampai rumah, bau ikan goreng sudah tercium dari depan pintu
rumah. Rumahnya masih rumah biasa, gubuk malah. Ibu di dalam sedang memasak,
sedang Rina, belajar di kamarnya. Maryam lalu memberinya buku-buku pelajaran
yang telah ia beli di kota. Maryam juga memberikan ibu sebuah alat solat baru.
Sedang ayah tercintanya, ia belikan baju koko, sajadah, dan sarung. Ia juga
membelikan jam tangan untuk sang ayah. Maryam mendapatkan uang yang cukup untuk
itu semua hasil tabungannya selama ini. Semua berterima kasih pada Maryam.
Setelah itu, ia berkumpul bersama keluarga untuk makan malam. Sudah lama ia
rindukan waktu-waktu seperti ini.
Maryam
masuk ke kamarnya dan mengenang semua memori yang ada. Saat ia tak sengaja
membuat dinding bolong dengan arit (semacam sabit) milik ayahnya. Saat itu,
ayahnya tak marah, justru menunjukkan wajah khawatir mendapati sang anak sedang
memegang benda tajam miliknya. Ayah tak bisa memperbaiki dinding dari anyaman
bambu itu lantaran tak punya uang. Hingga sekarang pun lobang itu masih ada.
Boneka
pemberian ayahnya saat ia meraih rangking satupun masih utuh di atas ranjang
tua dari kapuk tersebut. Ia juga jadi teringat saat ia dan ibu menangis sambil
berpelukan di kamarnya lantaran ia harus melanjutkan sekolah ke kota, dan saat
ia berpamitan dengan ayahnya di depan rumah, ayahnya tak menangis, malah
tersenyum. Namun Maryam menangkap bulir air mata sang ayah saat ia naik ke
mobil menuju kota. Dalam surat ayahnya bilang bahwa tak mau membuat ia sedih,
ayahnya ingin Maryam untuk mengejar cita-citanya. Lama ia melamun, namun suara
ibu menyadarkannya. Maryam segera salat isya dan tidur.
Udara
pagi di desa memang selalu segar. Pagi-pagi sekali ayah sudah tidak ada di
rumah. Beliau kini bekerja sebagai buruh tani semenjak pensiun. Maryam ingin
pergi ke kali. Biasanya ibu pergi ke kali untuk mencuci baju. Dulu, saat ia
masih kecil, ibu selalu menggendong dirinya karena jarak yang jauh. Namun kini,
karena kondisi ibu yang tidak memungkinkan, akhirnya, ia memutuskan untuk pergi
sendiri. Ibunya hanya minta ia untuk hati-hati dan pulang saat makan siang
tiba. Maryam akhirnya pergi mengandalkan seluruh ingatannya.
Kali
masih saja penuh. Dengan ibu-ibu yang mencuci baju, sedang anak-anaknya bermain
air. Maryam ingin sekali ikut bermain, namun ia sadar, itu sudah bukan masanya.
Jembatan dari bambu tua masih ada untuk menyebrang aliran kali yang lebih
kecil. Ia ingat sekali, ia suka bermain air dari sela-sela pegangan tangan
jembatan. Mengayun-ayunkan kaki, berimajinasi ia sedang berkecipuk dengan
perahu yang berjalan. Ia melihat kearah jam tangannya. Sudah jam sebelas siang.
Ia memutuskan untuk pulang dan membantu ibu menyiapkan makan siang. Ia ingin
membuat menu spesial untuk ayahnya. Dengan riang, ia pulang dengan bertelanjang
kaki.
Sampai
di rumah, ibu sedang menanak nasi di dapur. Sedang ayah belum juga pulang.
Maryam membantu memotong gedong singkong (daun singkong). Ia lalu merebusnya,
ia juga membuatkan ikan goreng pedas-manis
kesukaan ayahnya. Ibunya menyiapkan makan di ruangan depan dibantu Rina
yang baru saja pulang sekolah. Tak lama, ayah pulang dan mereka pun berkumpul
bersama. Maryam tau, ia akan merindukan suasana ini. Apalagi besok ia harus
kembali ke kota, karena lusa, ia harus masuk kuliah.
Malamnya,
Maryam tak ingin tidur cepat. Ia tak mau cepat-cepat mengakhiri rasa rindunya
pada desanya. Entah kapan lagi ia bisa ke sini. Apalagi aktivitas kuliahnya
yang padat dan ia juga ingin cepat selesai karena ingin kembali ke desa dan
membenahi semuanya. Dengan belaian manja ibu, Maryam akhirnya tertidur pulas di
ranjangnya.
Angin
pagi menghembuskan kesejukannya. Maryam bernapas sedalam-dalamnya, menghirup
udara segar ini sebelum ia kembali menghirup udara polusi di kota. Ayah sudah
bersiap dengan motornya di depan rumah. Maryam berpamitan dengan ibu. Ia harus
mengejar kereta siang ini. Ia harus pergi cukup pagi karena jarak rumahnya
dengan stasiun yang terlampau jauh.
Maryam
menitikkan air mata tatkala ayahnya bermaksud pamit karena harus bekerja.
Kenapa ayahnya masih harus bekerja padahal ia tau sudah cukup berat beban
hidupnya. Ia peluk tubuh tua ayahnya, tak ingin melupakan harumnya minyak wangi
tua kebanggaan ayahnya. Bunyi kereta sudah terdengar sayup-sayup dari kejauhan,
Maryam segera naik dan meninggalkan ayahnya yang masih ada di luar. Sekali lagi
ia menangis, dan ayahnya hanya tersenyum. Sama seperti pertama kali Maryam
meninggalkan desa. Entah kapan ia bisa kembali lagi. Apakah nanti saat ia
kembali, masih bisa ia lihat senyum itu ? Apakah masih akan ada seseorang yang
akan tersenyum untuknya saat ia kembali ke kota, agar ia tidak sedih ? Sekali
lagi, betapa ia ingin ayahnya tau bahwa Maryam sangat mencintai beliau. Kereta
berangkat dan menyisakan asap-asap pengantar senyum sang Ayah serta bulir air
mata Maryam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar