Rabu, 09 Mei 2012

tentang ayah


                
                Maryam masih duduk menunggu ayahnya menjemput. di depannya banyak orang sudah berseliweran mengejar kereta api yang bunyi peluitnya sudah terdengar. Ia menekuri keramik di bawahnya, sambil berpikir.
                ‘ ah..aku kembali lagi ke desa. Bagaimana ibu dan bapak serta Rina ya ? aku kangen.’
                Ia membuka tasnya dan mengecek apakah ia sudah yakin membawa oleh-oleh untuk ibu, ayah dan Rina (adiknya). Ia lihat kembali jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Biasanya, dulu, jam segini ayah baru saja pulang dari kerja. Maklum, ayah hanya seorang guru, dan gajinya tidak besar, terlebih lagi ini desa. Tapi, entahlah sekarang, ayah sudah semakin tua. Umurnya sudah lebih dari setengah abad. Hari semakin sore, namun sosok sang ayah belum juga terlihat. Maryam jadi semakin khawatir, apa ayah lupa ia datang hari ini. Ah tidak mungkin. Cepat ia tepis pikiran itu. Maryam kembali melihat jam tangannya, jam setengah enam sore. Ia semakin cemas, stasiun juga makin sepi. Angin lalu menghembuskan bau minyak wangi yang ia kenal. Bau minyak wangi tua yang dijual oleh pedagang asongan di pasar Senin. Ia menoleh pada arah minyak wangi itu datang. Dari kejauhan, ia lihat sosok itu kembali. Penuh dengan keringat yang membasahi wajahnya yang sudah mulai berkerut disana-sini. Ia berusaha memperlihatkan wajah senangnya dan menyembunyikan wajah lelahnya. Maryam seketika berdiri dan berlari menghampiri ayahnya. Dipeluknya tubuh lelaki yang kini lebih pendek darinya. Maryam menangis sangking rindunya ia pada sang ayah. Ayahnya sebenarnya senang, namun tetap bersikap tenang. Ia elus kerudung Maryam dengan lembut. Ia bisikan sesuatu pada anak tercintanya itu.
                “ wes..ndok. ojo nangis. Mulih yuk..”
                Maryam melepas pelukannya, mengusap air matanya dan tersenyum, tak ingin ayahnya khawatir. Ia lalu membopong tas ranselnya menuju sepeda motor ayah. Sepeda motor itu masih sama, butut dan tua. Maryam jadi ingin membelikan ayahnya sepeda motor baru jika nanti ia punya uang yang cukup. Perjalanan menuju rumah amat jauh. Sempat ia mampir sejenak untuk salat maghrib di langgar yang ia lewati. Saat sampai rumah, bau ikan goreng sudah tercium dari depan pintu rumah. Rumahnya masih rumah biasa, gubuk malah. Ibu di dalam sedang memasak, sedang Rina, belajar di kamarnya. Maryam lalu memberinya buku-buku pelajaran yang telah ia beli di kota. Maryam juga memberikan ibu sebuah alat solat baru. Sedang ayah tercintanya, ia belikan baju koko, sajadah, dan sarung. Ia juga membelikan jam tangan untuk sang ayah. Maryam mendapatkan uang yang cukup untuk itu semua hasil tabungannya selama ini. Semua berterima kasih pada Maryam. Setelah itu, ia berkumpul bersama keluarga untuk makan malam. Sudah lama ia rindukan waktu-waktu seperti ini.
                Maryam masuk ke kamarnya dan mengenang semua memori yang ada. Saat ia tak sengaja membuat dinding bolong dengan arit (semacam sabit) milik ayahnya. Saat itu, ayahnya tak marah, justru menunjukkan wajah khawatir mendapati sang anak sedang memegang benda tajam miliknya. Ayah tak bisa memperbaiki dinding dari anyaman bambu itu lantaran tak punya uang. Hingga sekarang pun lobang itu masih ada.
                Boneka pemberian ayahnya saat ia meraih rangking satupun masih utuh di atas ranjang tua dari kapuk tersebut. Ia juga jadi teringat saat ia dan ibu menangis sambil berpelukan di kamarnya lantaran ia harus melanjutkan sekolah ke kota, dan saat ia berpamitan dengan ayahnya di depan rumah, ayahnya tak menangis, malah tersenyum. Namun Maryam menangkap bulir air mata sang ayah saat ia naik ke mobil menuju kota. Dalam surat ayahnya bilang bahwa tak mau membuat ia sedih, ayahnya ingin Maryam untuk mengejar cita-citanya. Lama ia melamun, namun suara ibu menyadarkannya. Maryam segera salat isya dan tidur.
                Udara pagi di desa memang selalu segar. Pagi-pagi sekali ayah sudah tidak ada di rumah. Beliau kini bekerja sebagai buruh tani semenjak pensiun. Maryam ingin pergi ke kali. Biasanya ibu pergi ke kali untuk mencuci baju. Dulu, saat ia masih kecil, ibu selalu menggendong dirinya karena jarak yang jauh. Namun kini, karena kondisi ibu yang tidak memungkinkan, akhirnya, ia memutuskan untuk pergi sendiri. Ibunya hanya minta ia untuk hati-hati dan pulang saat makan siang tiba. Maryam akhirnya pergi mengandalkan seluruh ingatannya.
                Kali masih saja penuh. Dengan ibu-ibu yang mencuci baju, sedang anak-anaknya bermain air. Maryam ingin sekali ikut bermain, namun ia sadar, itu sudah bukan masanya. Jembatan dari bambu tua masih ada untuk menyebrang aliran kali yang lebih kecil. Ia ingat sekali, ia suka bermain air dari sela-sela pegangan tangan jembatan. Mengayun-ayunkan kaki, berimajinasi ia sedang berkecipuk dengan perahu yang berjalan. Ia melihat kearah jam tangannya. Sudah jam sebelas siang. Ia memutuskan untuk pulang dan membantu ibu menyiapkan makan siang. Ia ingin membuat menu spesial untuk ayahnya. Dengan riang, ia pulang dengan bertelanjang kaki.
                Sampai di rumah, ibu sedang menanak nasi di dapur. Sedang ayah belum juga pulang. Maryam membantu memotong gedong singkong (daun singkong). Ia lalu merebusnya, ia juga membuatkan ikan goreng pedas-manis  kesukaan ayahnya. Ibunya menyiapkan makan di ruangan depan dibantu Rina yang baru saja pulang sekolah. Tak lama, ayah pulang dan mereka pun berkumpul bersama. Maryam tau, ia akan merindukan suasana ini. Apalagi besok ia harus kembali ke kota, karena lusa, ia harus masuk kuliah.
                Malamnya, Maryam tak ingin tidur cepat. Ia tak mau cepat-cepat mengakhiri rasa rindunya pada desanya. Entah kapan lagi ia bisa ke sini. Apalagi aktivitas kuliahnya yang padat dan ia juga ingin cepat selesai karena ingin kembali ke desa dan membenahi semuanya. Dengan belaian manja ibu, Maryam akhirnya tertidur pulas di ranjangnya.
                Angin pagi menghembuskan kesejukannya. Maryam bernapas sedalam-dalamnya, menghirup udara segar ini sebelum ia kembali menghirup udara polusi di kota. Ayah sudah bersiap dengan motornya di depan rumah. Maryam berpamitan dengan ibu. Ia harus mengejar kereta siang ini. Ia harus pergi cukup pagi karena jarak rumahnya dengan stasiun yang terlampau jauh.
                Maryam menitikkan air mata tatkala ayahnya bermaksud pamit karena harus bekerja. Kenapa ayahnya masih harus bekerja padahal ia tau sudah cukup berat beban hidupnya. Ia peluk tubuh tua ayahnya, tak ingin melupakan harumnya minyak wangi tua kebanggaan ayahnya. Bunyi kereta sudah terdengar sayup-sayup dari kejauhan, Maryam segera naik dan meninggalkan ayahnya yang masih ada di luar. Sekali lagi ia menangis, dan ayahnya hanya tersenyum. Sama seperti pertama kali Maryam meninggalkan desa. Entah kapan ia bisa kembali lagi. Apakah nanti saat ia kembali, masih bisa ia lihat senyum itu ? Apakah masih akan ada seseorang yang akan tersenyum untuknya saat ia kembali ke kota, agar ia tidak sedih ? Sekali lagi, betapa ia ingin ayahnya tau bahwa Maryam sangat mencintai beliau. Kereta berangkat dan menyisakan asap-asap pengantar senyum sang Ayah serta bulir air mata Maryam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar