Selasa, 03 Desember 2013

Sebuah Origami


Bee's pov
                Aku suka origami. Membuat origami adalah candu bagi hari-hariku. Awalnya hanya iseng membuat kapal-kapalan sederhana, tapi semakin lama semakin penasaran dengan bentuk lainnya. Dan sekarang, origami kesukaanku adalah bentuk burung. Sekarang, origami-origami itu menyimpan setiap rahasiaku didalamnya, rahasia yang tidak pernah kuceritakan pada siapapun, bahkan teman dekatku, Rena.
                " Bee, kenapa sih ? " Rena membuyarkan lamunanku.
                " Eh, ngga, ngga kenapa-kenapa kok. "
                " Ngga kenapa-kenapa sih, tapi melamun. Ada apa sih ? Ari ya ? "
                " Kok jadi Ari sih ? "
                " Ya..habisnya kan kamu lagi suka dia, kalau kamu melamun, wajar aja dong kalo aku nyebut dia sebagai penyebab utama. "
                " Kemarin Ari ngajak aku makan malam. "
                " Tuh kan bener. Terus ? "
                " Yaudah, makan malam aja. Kita habis belajar bareng sama yang lain, terus dia nganterin aku pulang, dijalan dia ngajak makan, yaudah ayok aja. "
                " Terus ? "
                " Kok terus mulu sih Ren ? "
                " Yah...kali aja ada kemajuan kan. "
                " Hh..ngga semudah itu kali Ren. Kamu kan tau Ari tuh orangnya kayak ngga bisa disentuh gitu, hidupnya itu kayak punya budaya sendiri yang ngga semua dari kita bisa ikut masuk didalamnya. "
                " Mungkin dia keturunan makhluk dari Mars kali Bee, makanya dia kayak gitu, hahaha. "
                Aku tertawa keras karena candaan Rena yang agak aneh. Aku suka Ari. Aku menyukainya sejak ia membantuku mempersiapkan minuman saat satu angkatanku darmawisata. Dia adalah orang yang mengisi lembar-lembar origamiku setahun terakhir ini. Tapi Ari tidak tersentuh. Dia adalah orang kasat mata yang tidak bisa ditebak suasana hatinya. Aku pernah beberapa kali mengatakan untuk menyerah terhadap dirinya pada Rena, tapi lagi-lagi, aku tidak bisa menyalahkan mataku kalau aku masih sering mencuri pandang terhadapnya.
***
Yoga's pov
                Aku tidak pernah suka acara menggosip diantara wanita. Aku merasa duniaku terusik oleh celotehan mereka.  Bukannya aku tidak bisa cuek pada apa yang mereka perbincangkan, hanya saja, that's someone's life and it's none of your business.
                Beberapa kali aku mendekati seseorang, tapi pada akhirnya aku yang memutuskan untuk mundur. Kebiasaan mereka untuk mencampuri urusan satu sama lain membuatku sedikit terusik. Karena ini kehidupanku. Dan keterpengaruhan mereka satu sama lain membuat beberapa orang yang kudekati lebih sering membawa pandangan temannya terhadapku dibanding pandangannya sendiri.
                Wanita yang satu ini adalah seorang wanita yang mandiri. Pemikirannya dewasa, ia memang banyak diam, tapi, otaknya tidak pernah berhenti bekerja. Menjadi panitia ini lah, ngerjain itu lah, ngurusin ini lah, dan banyak kegiatan dia yang bahkan aku sendiri tidak bisa mengimbanginya, padahal dia perempuan dan aku laki-laki.
                Aku mendekatinya pelan-pelan. Dari mulai bertanya tugas, sampai aku berani bercerita tentang kehidupanku padanya. Bukan untuk hal khusus, hanya saja, sosok dia yang bisa menyimpan rahasia rapat-rapat, membuatku tenang. Aku mulai sering curi pandang hanya untuk sekedar memastikan bahwa dia baik-baik saja, dan kalau dia butuh bantuan, maka tanganku yang akan langsung bekerja, tanpa aku harus berbicara. Tapi, ada perasaan gusar yang membuatku sedikit tidak tenang akibat kejadian tadi malam.
                " Ga, mau ikut ngga entar malem ? "
                " Apaan ? "
                " Biasa, belajar bareng yang lain, habis itu paling nongkrong. "
                " Hm..boleh deh, kebetulan ada yang belum gue pahamin. "
                " Yaudah, entar jam 7 yah, ditempat biasa, rumah gue. Hehe. "
                " Iya deh, siapa aja yang ikut ? "
                " Banyak. Noni, Ari, Bee, Caca, Malik. Banyak dah pokoknya. "
                " Yadeh, entar  gue kesana. "
                Aku ngga peduli siapa aja yang datang sebenarnya, aku hanya ingin tau apakah Bee datang atau tidak. Karena, rasanya lega sekali kalau dia datang.
                Malamnya aku datang ke rumah Ergi. Yang lain sudah pada datang. Di sana Bee duduk, disebelah Ari, sedang asik main Ipad milik Ari.
                " Dateng juga akhirnya lu Ga. Dibilangin jam 7, lu datengnya jam 8. "
                " Sori, tadi gue ada yang dikerjain dulu. "
                " Yaudah, lu ngga paham apa, nanya aja sama siapa aja yang ada disini boleh kok. "
                Aku mengangguk, mengambil tempat duduk di sebelah Ari. Bee tidak sadar kehadiranku, dia masih asik dengan barang canggih milik Ari. Aku bertanya beberapa hal pada Ari, karena menurutku Ari termasuk jajaran anak pintar di kelas. Saat ada pertanyaan yang ia tak bisa jawab, ia bertanya pada Bee, dan pada akhirnya Bee melihatku.
                " Lho ada Yoga, kapan datang ?"
                " 5000 tahun sebelum masehi. "
                " Yaelah, orang nanya baik-baik juga. Gitu aja ngambek. "
                Entah kenapa kegiatannya yang terlalu asik dengan barang milik Ari mengusik diriku dan jawaban ketus itu mengalirkan rasa terusik yang kurasakan dengan sangat baik. Setelahnya Bee menjelaskan beberapa pertanyaan sulit yang tidak dimengerti Ari.
                Hari makin larut, setelah ngobrol kesana kemari, beberapa dari kami memutuskan untuk pulang. Aku tau kalau Bee tidak bawa kendarannya sendiri ke tempat Ergi, mungkin ia minta tolong Rena untuk mengantarnya kesini.
                " Bee, lu pulang sama siapa ? "
                " Belom tau, hehe. Rena mungkin, tapi aku belum nelpon dia sih. "
                " Mau gue anterina aja ? "
                Saat mendengar Ergi menawarkan dirinya, lidahku sudah gatal untuk menawarkan diri juga. Tapi niat itu terdahului. Ari.
                " Sama aku ajalah, sejalan juga. "
                " Hm..bolehboleh. "
                Tanpa berpikir panjang, Bee mengiyakan ajakan Ari. Dari sekian orang, ia memilih untuk diantar pulang Ari. Dan tidak lama, mereka berdua sudah beranjak dari rumah Ergi. Aku masih bertahan di rumah Ergi, suntuk.
                " Bete banget kayaknya lu Ga. "
                " Oh, ngga kok. Agak ngantuk, tapi masih belum mau pulang nih. "
                " Oh..eh, lu kerasa ngga sih kayaknya Ari ada rasa sama Bee, atau Bee yang ada rasa sama Ari. Mereka berdua sering kepergok ngobrol berdua aja. "
                " Urusan mereka. Lu kayak cewe aja deh Gi, ngegosip. "
                Apa yang kuucapkan dengan apa yang kuyakini sungguh berbeda. Rasa suntuk daritadi karena pikiranku liar memikirkan tentang mereka berdua. Harusnya aku biasa saja. Bee hanya temanku. Itu saja. Tidak lama setelah itu aku pamit pulang, mampir sebentar di cafe dan menyeruput kopi hitam karena perasaan dan pikiranku yang kacau. Sms dari Bee sedari tadi kubiarkan tidak terbaca, aku malas.
***
Bee's pov
                Rena tidak pernah tau kalau aku dekat dengan Yoga. Cowok atletis yang punya muka blesteran, yang bisa membuat ratusan wanita menjerit saat ia mulai memainkan bass-nya. Tapi aku menganggapnya teman, tidak sama dengan aku memandang Ari. Meskipun Yoga cukup perhatian kepadaku, tapi tetap saja, Ari lah yang memenuhi pikiranku.
                Yoga adalah tipikal cowo yang tidak suka kalau kedekatan ini dikonsumsi oleh khalayak ramai. Dia adalah tipikal orang yang tidak bisa menjadi public figure. Sebenarnya ingin sekali aku cerita pada Rena, tentang Yoga yang lama sekali membalas smsku, tentang Yoga yang sering mengkhawatirkan diriku, tentang Yoga yang sikapnya lebih perhatian kepadaku dibanding Ari. Tapi tidak bisa, sungguh tidak bisa.
                " Eh Bee, kamu tuh sering senyum-senyum kalo liat hape akhir-akhir ini. Kenapa sih ? " Sifat cenayang Rena mulai bermain.
                " Ngga papa kok. "
                " Smsan sama Ari yaa.. "
                " Kamu percaya ngga kalo aku bilang iya ? " Rena terdiam sejenak, menimbang-nimbang dan jawabannya menyulitkan posisiku.
                " Ngga sama sekali. "
                " Tapi kalo beneran gimana hayoo ? "
                " Kayaknya ngga sih, kan bahasa kalian beda. Hahaha. "
                " Asem banget. "
                " Jadi siapa nih ? "
                " Orang lah Ren, yang tinggal di bumi, pake bahasa indonesia kalo ngomong, bernapas, organnya lengkap, dan sehat walafiat. "
                " Temen seangkatan ya ? " Tuh kan, sifat cenayang Rena paling bahaya emang.
                " Udah deh Ren. Dia ngga mau diketahui. "
                " Kalau ngga mau diketahui jangan tinggal di bumi kalo gitu. "
                " Okay, dia ngelarang aku buat cerita. "
                " Kamu kan emang ngga cerita ke aku. Aku yang nebak. "
                " Terserah deeh. Asal kamu bisa keep secret aja kalo udah tau. "
                " Kapan sih Bee aku ngadain jumpa pers setiap kali kamu cerita Ari pake baju apa, pake sepatu apa. "
                " Yadeh terserah. "
                " Okay aku mulai nebak ya. Kata kunci dong. "
                " Unpredictable person. "
                " Terlalu umum, Ari juga termasuk dong kalo gitu. "
                " Cowo. "
                " Itu juga aku udah tau dari awal. "
                " Dekat sama siapa aja. "
                " Plis deh Bee. "
                " Habisnya aku kan emang ngga bisa cerita ke kamu. Kamu harus bisa nebak sendiri. "
                " Yah, diliat nanti ya. "
                Besoknya Rena membuntutiku di kampus. Bahkan dia yang biasanya males untuk berdiam di perpustakaan mengikutiku juga. Rena adalah tipikal orang yang harus bisa memuaskan rasa penasarannya, jalan apapun yang harus ditempuh, ia lakoni.
                " Aku pulang ya Bee. " Setelah sejam lebih duduk manis di perpustakaan, Rena akhirnya menyerah.
                " Udah nyerah nih ? "
                " Belum kok. Cuma aku udah tau aja siapa orangnya. "
                " Ha ? Masa ? Perasaan hari ini aku ngga ada kepergok lagi sama cowo. "
                " Iya emang. Inget, aku punya indra keenam. Hahaha. " Rena mendramatisir kemampuannya.
                " Siapa coba ? "
                " Keliatan banget, aku cuma kurang peka aja selama ini. "
                " Iya, siapa ? "
                " Yoga Erlangga. " Aku tersentak, mukaku tegang, tanganku gemetar. Rena emang ngga pernah meleset dengan tebakannya.
                " Tuh kan bener. Yaudah, aku pulang ya, kamu mau nebeng ngga ? Atau dianteeeerrr... "
                " Sssstt. Kan aku udah bilang ra-ha-si-a Ren. " Aku sengaja menekankan pada kata rahasia karena ini memang hal urgent yang musti dirahasiain.
                " Iya aku tau kok. Santai aja. Nebeng ngga ? "
                " Ngga, aku bawa mobil sendiri tadi. "
                " Yaudah kalo gitu, duluan ya. "
                Sepeninggal Rena, aku merasa takut kalau Yoga tau hal ini. Aku takut dia marah dan menjauh. Bukan karena aku punya perasaan lebih terhadapnya, hanya saja, dia itu baik dan dia itu perhatian. Jarang ada cowo yang memperlakukan aku seperti dia. Jadi rasanya, wajar aku merasa takut saat ini.
***
Yoga's pov
                Bee sering pulang sore. Saat aku baru selesai latihan band dengan teman yang lain, aku sering masih mendapati dia menikmati lagu di mobilnya sendiri. Aku juga heran kenapa dia tidak sambil pulang saja menikmati musik di mobilnya, toh rumahnya juga cukup jauh. Tapi begitu kutanya kenapa ke dia, jawabannya tidak pernah terpikir olehku,' kalo sambil jalan, entar ngga bisa nikmatin lirik-liriknya, kan lagi fokus sama jalanan yang ada di depan'.
                Bee tidak pernah bisa ditebak. Pernah sekali ia memberiku origami kapal-kapalan saat aku mau pulang, dia bilang untuk jimat di jalan. Tapi aku tau, Bee itu teman yang selalu bisa diandalkan, atau mungkin dia wanita yang selalu bisa untuk dicintai ya?
                Kejadian di rumah Ergi membuatku memerhatikan dirinya lebih sering. Suka terusik setiap kali dia makan sama Ari atau dia ada kegiatan bersama Ari. Aku sadar aku hanya temannya, tapi entah kenapa, Bee itu seperti orang yang semi-wajib untuk aku posesifkan.
                Aku mulai jarang membalas sms dari Bee, bukan karena aku marah, hanya merasa suntuk saja kadang-kadang kalau mengingat dirinya. Kadang dia protes kepadaku yang sering menatap tidak suka ke dia. Bukan karena aku mulai membencinya yang dekat dengan Ari, itu urusan dia, terserah dia. Tapi aku merasa aneh saja. Merasa, aku tidak mau Bee diambil oleh orang lain.
***
Bee's pov
                Yoga akhir-akhir ini aneh. Dia sering jutek padaku. Tidak seperti biasanya. Dia sering mengganti nada smsnya dari bentuk pertanyaan menjadi bentuk perintah. Apa mungkin Yoga tau ya kalau Rena sudah tau soal kedekatan aku sama dia? Tapi Rena itu adalah orang yang pokerface-nya paling bagus seantero kampus. Bisa banget pura-pura ngga tau padahal dia tau banget. Bisa banget pura-pura paham padahal dia no idea sama sekali.
                " Nape lu Bee? Muka ditekuk gitu."
                " Yoga Ren "
                " Kenapa Yoga ? Dia pindah ke Mars ?"
                " Ngga kali. Dia akhir-akhir jutek banget ke aku, jarang banget balas smsku."
                " Bukannya dia emang jarang bales smsmu yah ?"
                " Tapi ngga separah ini, gue ngesms kapan dia balesnya kapan."
                " Dia lagi abis pulsa kali, atau lagi sibuk."
                " Yaelah, abis pulsa masa sampe 2 hari sih Ren."
                " Dia abis pulsa, trus dia lagi kere, jadi ngga bisa beli pulsa deh."
                " Yoga loh Ren, pernah banget dia kere."
                " Atau seluruh konter di negara ini ngga nerima pengisian pulsa atas nomernya."
                " Seriously ?"
                " Yaudah  lah Bee. Masak dia ngga bales smsmu kamu murungnya sama kayak kalo Ari ngga mau kamu tebengin sih."
                " Hehe, gitu yah. Tapi emang ngeselin. Tiba-tiba gitu aja. "
                " Kalo cuma temenan, kamu ngga perlu khawatir dong harusnya dia gitu. Tapi kalo kasusnya posisi dia itu adalah Ari, baru deh kamu murungnya semingguan."
                " Eh, tapi Ari sekarang mulai ngerespon lho kalo aku sms. "
                " Nyengir kuda deh dia. Haha"
                Iya. Beberapa hari terakhir aku sering nanya hal-hal yang termasuk penting ke Ari, mengingat dia ketua angkatan. Tapi dari hal penting, mulai lanjut ke basa-basi, walaupun pada akhirnya Ari pamit untuk alasan yang tidak aku tau. Tapi sisi hatiku merasa senang, aku merasa semakin dekat dengan Ari.
***
Yoga's pov
                Aku berspekulasi Bee dan Ari semakin dekat. Tempo hari aku tidak sengaja memergoki Ari yang makan siang bareng Bee di kantin kampus. Bee itu temanku. Aku selalu tegaskan itu ke dalam otakku, tapi tetap saja, sifat posesifku tiba-tiba saja terpancing kalau menyangkut Bee.
                " Ga, kamu langsung pulang ?" Bee tiba-tiba mendatangiku saat aku sudah bersiap untuk keluar kelas.
                " Iya kayaknya. Kenapa ? "
                " Nebeng dong, yayaya ? " Aku kaget dengan Bee yang baru kali ini minta diantarkan pulang olehku.
                " Sama Ari aja tuh. " Aku menunjuk Ari yang masih asik becandaan di depan kelas.
                " Ari masih mau mampir ke toko alat musik. " Mendengar Bee yang tau sekali kegiatan sibuk Ari membuatku merasa 'sedang tidak ingin diganggu'.
                " Ngga. Aku mampir juga. " Aku pergi meninggalkan Bee. Aku mungkin menyakiti hatinya dengan penolakanku, tapi aku merasa aneh saat ia tau kenapa Ari ngga bisa mengantarnya pulang. Aku suntuk sepanjang jalan pulang, mendengarkan musik dengan volume tinggi dalam mobilku. Tapi sebagian pikiranku terusik akan Bee yang tidak bisa pulang. Aku mampir di rumah makan, perutku tiba-tiba lapar.
                To : Bee
                Km jd sm siapa plg ?
                Lama aku menunggu balesan smsnya.
                From : Bee
                sm Ari.
                Aku lega dia dapat tebengan, tapi sms itu membuat aku menyimpan hape dalam tas dan menutupnya.
***
Bee's pov
                Aku bete sama Yoga. Nanya baik-baik malah dijawab ketus banget. Bilangnya langsung pulang langsung tiba-tiba berubah bilang mau mampir dulu. Kenapa sih ngga mau nebengin aku ? Takut keliatan temen-temen ? Takut ketauan ? Damn it.
                " Ren." Aku sedang suntuk di cafe bareng Rena.
                " Kenape ? "
                " Sebel banget sama Yoga. "
                " Jadi headline nya udah ganti yah dari Ari jadi Yoga sekarang. "
                " Bukan gitu Ren. "
                " Iya..terus Yoga kenapa lagi ? Dia ngga bisa nemuin konter pulsa yang mau nerima dia buat ngisi pulsa ? Trus dia minta anterin kamu ke planet Mars kali aja disana ada yang jualan pulsa, gitu ? "
                " Rena ah, becanda mulu. Itu lho kemaren kan aku mau nebeng sama dia. Trus dia bilang, sama Ari aja tuh, trus aku bilang deh kalo Ari kan mau mampir dulu, sedangkan dia mau langsung pulang. Trus tiba-tiba dia jutek gitu terus bilang kalo dia mau mampir dulu. Males banget deeh. Akhirnya aku minta tolong banget sama Ari, untung aja dia mau. "
                " Trus ? "
                " Trus dia sok-sok nanya aku gitu lewat sms jadi pulang sama siapa. Apa coba maunya. "
                " Dia jeles kali Bee. "
                " Jeles dari mana. Gue kan cuma temenan aja sama dia, ngapain coba dia jeles. "
                " Ya kalo gitu, kenapa dia langsung nembak nyuruh kamu pulang sama Ari coba. Trus kenapa dia repot-repot ngesms kamu nanya jadi pulang sama siapa. Kamu sih ngejawab Ari ngga bisa nganter kamu kenapa, ya kemungkinan dia jeles, ngeliat kamu deket sama Ari. Dia suka kamu kali. "
                " Yah Ren, ngga mungkin lah dia suka sama aku. "
                " Apasih yang ngga mungkin Bee ? Kamu aja bisa dapet C waktu mata kuliah kemarin, jadi yah, semuanya mungkin kan. "
                " Sialan lu. Haha. "
                Aku ngga pernah tau apa yang Yoga pikirkan, apa yang Yoga rasakan terhadapku. Tapi aku masih bisa bilang, kalau aku suka Ari.
***
Yoga's pov
                Aku memutuskan untuk berhenti. Berhenti memberi waktu lebih untuk Bee. Bukan karena aku membencinya, hanya saja aku tidak suka sikapku yang seperti 'melindunginya' terlalu ketat. Padahal kan aku cuma temannya, cuma sahabatnya. Kalau dia suka Ari, itu kehidupan dia, dan aku bukan salah satu orang yang akan mengusiknya.
                Ternyata satu kelas dengan Bee membuat niatku semakin susah untuk dijalankan. Sosok Bee yang fragile sekaligus sekeras karang membuatku tidak bisa berhenti mencuri pandang kepadanya. Hanya untuk memastikan dia baik-baik saja. Aku tau akhir-akhir ini dia sangat dekat dengan Ari. Aku ingin, sangat ingin tidak memerhatikan itu, tapi mataku selalu memanas setiap melihat mereka sangat dekat.
***
Bee's pov
                Yoga berhenti memberiku kabar. Dia juga mulai ketus di kelas, tidak menyapaku, tidak menanyakan kabarku. Aku seperti dipersilahkan keluar begitu saja dari hidupnya. Kemarin aku lihat dia makan siang bersama salah satu teman sekelas, akhir-akhir ini mereka sangat dekat. Aku tau kok aku hanya sekedar temannya, tapi hilangnya Yoga seperti satu kolom kosong dalam lembar kerjaku.
                Hari ini aku nonton festival Jazz bareng sama Ari. Dia memberikan tiket gratis saat kemarin aku nebeng dia untuk pulang. Aku senang. Senang sekali bahkan, aku belum menceritakan ke Rena. Akhir-akhir ini Rena sedang menyibukkan diri dengan hobinya, fotografi, semenjak pancarnya memutuskan hubungan mereka. Aku merahasiakan sedikit ceritaku untuk lebih banyak menegakkan pundak Rena yang sedang jatuh.
                Aku datang dengan kendaraan sendiri ke festival. Acaranya rame. Aku janjian di pintu masuk sama Ari, tadi aku juga sudah ngabarin dia lewat sms. Ari datang, dengan seorang cewe, aku ngga kenal.
                " Udah lama Bee ?"
                " Ngga juga, hehe. "
                " Eh kenalin, ini Tia, hehe."
                " Oh iya, Bee. Temen sekelasnya Ari. Pacar baru yaa."
                " Ehehe, lu mah Bee, ngga paham deh. "
                Aku nyengir sebisanya. Hatiku miris. Pantas saja selama ini aku tidak masuk dalam dunianya. Iyalah, dibanding cewenya, aku jauh dari selevel. Malam itu aku kurang menikmati lagu-lagu Tompi padahal aku punya beralbum-album miliknya di rumah.
                Aku pulang, suntuk. Menangis di mobil dengan backsound lagu milik Maroon 5. Spontan, aku menelpon Yoga.
***
Yoga's pov
                Bee tiba-tiba menelponku. Suaranya serak. Dia sendirian, nyasar. Bee selalu buruk dalam hal navigasi. Aku tau dia di daerah mana. Sikap itu muncul lagi, sikap selalu ingin melindungi. Dan di sana, mobil Bee terparkir di pinggir jalan. Aku masuk ke mobilnya.
                " Kenapa Bee ?"
                " Makasih ya udah dateng, bego banget gue salah ambil jalur. Hehe."
                " Kamu kenapa ?"
                Bee cuma diam. Aku tau dia habis nangis. Kacamata yang ia sengaja kenakan tidak bisa menutupinya dengan baik.
                " Yaudah, kalo kamu ngga mau cerita aku ngga maksa sih. " Belum sempat aku keluar dari mobilnya, ia membuka suara.
                " Aku lagi patah hati aja Ga. Bego banget selama ini mencoba suka sama orang yang salah. Bego karna ngga mau benar-benar berhenti padahal aku tau banget dia bukan buat aku. Dan sekarang susah banget lepasnya. Totally blind Ga. "
                Aku terdiam, baru kali ini aku melihat Bee begitu emosionalnya. Aku bingung harus menanggapi apa, jadi aku memutuskan untuk diam saja dan mendengarkan ceritanya. Saat ia sudah selesai bercerita, yang bisa kulakukan hanya menepuk bahunya dan mengelus rambutnya layaknya seorang kakak.
                Setelah keadaan agak tenang, aku mengantarnya pulang ke rumah. Mukanya suntuk, matanya masih sembap, tapi aku cukup tenang karena aku yakin dia akan baik-baik saja di rumah.
***
Bee's pov
                Entah kenapa pertolongan Yoga kemarin membuatku terkesima. Aku senang, diperhatikan oleh Yoga. Walaupun aku tau itu hanya sebatas teman, tapi aku merasa nyaman.
                " Ren, aku udah mutusin. "
                " Mutusin apaan ?" Rena masih sibuk menyendok es krim coklatnya.
                " Aku mau berhenti suka sama Ari. "
                " Lha kenapa ?" Sekarang aku menarik perhatian Rena.
                " Yaa..ngga papa. Emang udah ngga mungkin aja. "
                " Yakin ? Inget lho ini bukan pertama kalinya kamu bilang begini. "
                " Iya, gue tau kali. Tapi ini beneran. "
                " Massaaaa ?? Kepincut sama orang lain yaa ? "
                " Aku mau ngejar yang tersedia aja Ren. "
                " Contohnya seperti Yoga, gitu ?"
                " Kok lu langsung nebaknya dia sih ?"
                " Yaa..abisnya kamu kan lagi deket sama dia. Ya, deket-deket ngga-ngga juga sih, hehe. Tapi kamu ngga takut kalo suka kamu ke Yoga itu sebagai pengganti sosoknya Ari. "
                " Gue ngga tau sih, tapi ngga ada salahnya nyoba kan. "
                " Serah lu daah."
                Aku mau berhenti dari Ari. Aku memang menyimpan alasan kenapa aku berhenti untuk suka sama Ari dari Rena, tapi, dengan Rena tau sendiri, mungkin itu jalan yang lebih baik. Aku mulai memerhatikan Yoga. Mengajaknya makan siang, kami sering tidak sengaja hang out bareng sama temen-temen yang lain juga. Aku akan suka Yoga.
***
Yoga's pov
                Aku semakin dekat dengan Bee semenjak malam itu. Fragile-nya dia semakin terlihat saat tatapannya kosong melihat Ari. Aku tau sebab ia menangis beberapa minggu lalu itu karena Ari, meskipun ia tidak menyinggungnya.
                Aku tidak pernah mencoba membuat Bee untuk suka padaku. Aku juga tidak pernah berniat berteman dengan Bee karena aku tertarik padanya. Tapi entahlah, ada banyak yang masih bisa kupertimbangkan. Skripsi yang semakin menggila, tugas yang menumpuk. Aku menjaga jarak dari Bee. Aku hanya tidak mau dia menganggap aku memeberinya harapan, padahal aku tidak.
***
Bee's pov
                Tugas yang begitu memenuhi sticky notes di kamarku membuatku melupakan cerita tentang aku-Yoga-Ari. Yoga juga mulai menjaga jarak terhadapku. Aku tidak tau apakah itu karena dia sibuk mengerjakan tugas yang menumpuk atau karena ada hal lain. Aku tidak banyak berharap pada Yoga, aku hanya ingin berusaha menyingkirkan Ari. Bukan berarti Yoga adalah pengganti, tapi mungkin aku harusnya lebih terbuka sejak awal, kalau Yoga-lah yang tersedia untukku, bukan Ari.
                Origami-origami yang isinya curahan semua cerita tentang Ari sudah kugantung manis di sudut kamarku. Kujadikan pajangan disana. Jumlahnya yang banyak membuatku sadar betapa aku terlalu menginginkan Ari selama ini, tanpa ada kesempatan untuk membuka pintu bagi yang lain.
                ******
Bee's pov
                Besok wisuda. Malam ini aku menulis beberapa ocehan tentang cerita semasa kuliah di blog-ku. Rena akan melanjutkan kuliah S2nya di salah satu universitas di pulau Jawa, ia terlalu mencintai Indonesia sehingga berpikir 100kali untuk pindah ke luar negri. Sedang aku, aku melanjutkan S2ku di salah satu universitas di London, aku dengan beruntungnya dapat beasiswa. Yoga memutuskan untuk magang di salah satu perusahaan swasta. Multi bahasanya membantunya mendapatkan pekerjaan itu. Dia memutuskan untuk melanjutkan S2 saat ia bisa membiayai dirinya sendiri.
                Aku membuat 2 origami spesial malam ini. Khusus untuk wisudaku besok.
****
Yoga's pov
                Pada akhirnya sebuah awal itu memiliki akhir. Aku wisuda hari ini. Mulai minggu depan aku sudah mulai bekerja. Aku masih sering bertanya kabar Bee. Aku tau dia akan ke luar negri. Bee cepat bangkit, dia wanita yang dewasa, aku tau itu. Dan itu yang membuat Bee menarik.
                Bee memberiku origami berbentuk burung saat aku mau pulang. Dia hanya bilang itu sebagai jimat keberuntungan untukku. Aku menggantungnya di spion tengah di mobil. Aku selalu suka origami buatan Bee. Aku bahkan masih menyimpan origami kapal yang dia buatkan untukku dulu.
                Aku tidak pernah tau kalau origami itu berisi kata-kata. Sampai beberapa bulan kemudian aku melihat guratan pulpen itu saat kaca depan mobil disinari matahari yang terang. Aku mengambil origami itu, membukanya pelan-pelan, dan ya, disana cerita Bee termuat.