Sabtu, 18 Mei 2013

tentang sesuatu

beberapa menit yang lalu padahal mataku rasanya sudah berat sekali untuk terbuka
tapi hingga sekarang, saat bapak siskamling membunyikan suara sebanyak 12kali, aku belum juga bisa tidur
ada sesuatu yang sedang kupikirkan, entah apa itu
mungkin menyangkut kamu atau juga kamu
bukan karna aku membawa agin melankolis pada sisa malamku ini
hanya saja rasa kantuk itu bahkan kini enggan singgah

hh...padahal langit sudah memberikan hawa sejuknya
dan perut juga sudah terisi hampir penuh
tapi satu pikiran membuatku tetap terjaga
memandangi beberapa sosial media dan memperhatikan blog yang sedikit peminatnya ini
hey, apakah aku sekarang berbicara sendiri,
ah mungkin aku sedikit tidak waras
but well, aku baik saja
hanya saja, ini tentang sesuatu

Jumat, 17 Mei 2013

coffee and guitar

Untuk Uuty : you never know exactly the truth, but believe me, something better to be unknown until the right time. Then i'm kinda make my crazy imagination for you :), hope you like this



" Heh neng, pagi-pagi udah kopi aja. Telur tuh jangan dianggurin. " Jean menggerutu pada Renata yang sedang menyeruput cappuccino nya pagi ini.
" What do you expect from someone who didn't sleep for three days ?" Renata mencari alasan untuk cappuccinonya
" Some sleep, i guess. Masak kamu mau jadi kelelawar gini terus sih Ren, kelelawar aja tidur paginya, lah elu, jangankan tidur, ngedip aja jarang. Hahaha "
" Sial. Yuk ngampus." Renata meresap cappuccinonya hingga habis lalu menuju garasi tempat mobil Jean terparkir rapih. Batinnya mengumpat ayahnya yang belum mengijinkannya untuk mengendarai mobil sendiri.
***
" Ren, catetan biodata udah selesai belum ?" Billy, ketua angkatan mereka sudah menagih tugas Renata yang tempo hari ia berikan.
" Nih" Renata menyodorkan beberapa lembar kertas begitu saja. Tentu saja dia menyelesaikannya, untuk apa dia tidak tidur beberapa hari hanya untuk bengong melihat bulan. Terlihat seperti vampire yang galau.
" Thank you Renata" Billy melenggang pergi, Renata tidak terlalu memedulikannya. Kepalanya sangat pusing, kopi mulai melakukan tugasnya, membuatnya deg-degan tidak jelas. Tapi, ia sudah biasa dengan kopi.
Deni melenggang duduk di samping Renata tanpa permisi. Membuat Renata sedikit kebingungan.
" Tumben duduk disini." Renata mulai mengkritik tindakannya.
" Kamu yang tumben. Biasanya kamu duduk di sisi sana. Aku sih biasa duduk di sini." Deni menunjuk barisan Jean duduk.
" Hm..aku sudah 2 hari duduk di sini. Mungkin karena kamu ngga masuk jadi ngga tau ya. Okey aku pindah aja." Renata menenteng tasnya dan duduk sembarangan di sebelah Jean.
" Kok pindah ?" Jean mengerutkan keningnya.
" Kamu mau komen aku juga. Kamu mau suruh aku pindah, lagi?"
" Kok marah sih Ren,santai ajalah." Jean melihat tempat awal Renata duduk, lalu mengangguk-angguk.
" Well, you see now why i need to move."
" Sort of." Jean diam saja. Deni memang terlihat menawan, tapi sikap acuh dan cueknya membuat beberapa rang memutuskan untuk tidak berurusan dengannya.
***
" Nih." Jean melempar obat tidur ke atas meja Renata.
" Buat apa ? "
" Apa yang kamu harapkan dari seorang teman yang sudah liat temannya ngga tidur 3 hari ? "
" Hm..buy me more coffee maybe." Renata mengambil obat tidur yang diberikan Jean dan menyimpannya di tasnya.
" Pulang ? "
" Yeah. " Mereka pulang dan Renata berharap obat tidur yang ada di tasnya berhasil membuatnya lelap malam ini.
***
Renata tidur seharian, yang ia ingat terakhir kali adalah ia makan masakan Jean yang agak sedikit gosong tadi siang. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi dan saat membuka mata, kamarnya sudah gelap gulita, di luar juga sepertinya sudah gelap.
" Tahun berapa sekarang Jean ? " Renata menggaruk kepalanya yang tidak gatal menuju ruang tengah tempat Jean sedang menikmati serial tv favoritnya.
" Masih di tahun yang sama saat kamu minum obat tidurku tadi siang. Kamu pikir kamu hibernasi ? "
  " Arrggghhh...syukurlah. Kukira aku sudah tidur beberapa abad. Obat tidurmu berhasil ternyata Jean. Err..sudah jam 8. " Renata miris melihat jam dinding.
" Hey, kita makan diluar, ada tiket gratis. " Jean menunjukkan 2 tiket gratis di tangannya.
" Whatever. Yang penting lambungku terisi. Aku mandi dulu sebentar. " Renata meninggalkan Jean yang masih asyik dengan serial tv nya.
***
" Kita ngga pernah kesini kan ? Kok tumben ? Kamu baru dikirimin uang Jean ? "
" Nope. Kan aku tadi sudah bilang dapat tiket gratis. " Renata memutar bola matanya tanda ia lupa. Mereka berdua masuk sebuah cafe yang terlihat cukup eksklusif. Jean lalu memberikan tiket yang ia bawa ke pelayan. Dari jauh seseorang menghampiri mereka dengan senyumnya, Deni.
" Hey Jean. Dipake juga nih tiket gratisnya. "
" Iyalah. Udah dikasih masa' ngga dipake sih. Kapan nampil nih ? "
" Entar lagi. Aku kirain kamu bakal ngajak pacar. Ngga taunya Renata. " Deni melirik ke arah Renata yang sedari tadi memperhatikan pintu masuk.
" Kenapa ? Masalah buat kamu ? "
" Ngga usah sewot Ren. Thanks udah datang. Enjoy your night ya. Aku mau siap - siap di belakang panggung dulu. " Deni meninggalkan Jean dan Renata.
" Kamu ngga bilang dia yang ngasih tiket gratisnya. " Renata kini sewot pada Jean.
" Kamu kan ngga nanya Ren. Katamu yang penting lambungmu keisi kan. " Jean cekikikan sendiri melihat Renata yang sewot sendiri.
Deni naik ke panggung. Memulai memainkan gitar. Ia membawakan satu musik yang beraliran jazz. Merdu dan indah, hingga cukup membuat Renata terkesima. Ia seperti mendengarkan lagu-lagu favoritnya secara live. Deni membawakan lagunya sangat baik dan menghipnotis Renata dengan permainannya.
***
" Ren, gimana aku tadi malem ? " Deni langsung menyodorkan pertanyaan saat Renata baru duduk di kursi kuliahnya.
" Hm...well, kamu seperti...manusia. " Renata bohong. Padahal semalaman ia tidak bisa tidur karena suara gitar dari Deni.
" Bukan itu Ren. Maksudku main di panggungnya, bagus ngga ? "
" Hm...gitulah. " Renata mulai gugup dengan sikap ngotot Deni.
" Ah, ngga asik gitu Ren. " Deni bangkit dan meninggalkan Renata. Renata menghembuskan napasnya dengan lega. Bodoh sebenarnya karena menyia-nyiakan kesempatannya untuk bisa ngobrol dengan Deni. 'Hm..wait. Kenapa aku butuh ngobrol dengan Deni ? '
" Renata...Renata...Kalo bagus, bilang aja napa sih ? " Jean menyadarkan Renata dari lamunannya.
" Darimana juga kamu dapet teori kalo aku suka permainannya tadi malem ? "
" Ngga kedip sama sekali itu cukup menjelaskannya Ren. "
" Sejelas itukah ? "
" Banget. Kamu ngga suka banget ya sama Deni ? "
" Hm...i don't know. Aku hanya ngga mau dia tau kalo dia berbakat dalam bermain gitar. " Renata sudah mulai membuka novel yang sedari tadi ia pegang. Jean menyerah untuk ingin tau dan memilih untuk menerima jawaban diplomatis Renata.
***
Beberapa minggu terakhir Deni sering berada di dekat Renata. Entah itu memberinya tiket gratis atau tiba-tiba duduk di sebelah bangkunya untuk sekedar bermain tablet miliknya. Renata tidak pernah mengusir Deni untuk pindah, ia lebih memilih tidak peduli atau pindah. Deni yang badannya sangat terawat itu benar-benar sudah mengganggu penghantaran saraf di otaknya.
" Jean " Renata datang tiba-tiba ke ruang tengah tempat Jean berada dan spontan membuatnya kaget.
" Apasih Ren ? Bikin kaget deh. "
" Aku kayaknya sudah sedikit gila. " Kini Renata sudah duduk di sebelah Jean.
" He ? " Jean mengangkat satu alisnya.
" Beberapa hari terakhir aku terganggu dengan kehadiran Deni. "
" Bukannya udah dari dulu ya ? "
" Bukan 'terganggu' yang seperti itu. "
" Terus ? "
" Hm...i don't know. Err...sepertinya aku mulai suka deh sama dia. "
" WHAT ?" Jean berteriak cukup keras, membuat Renata meringis.
" I'm not really sure. Tapi, aku bahkan suka bau parfumnya. Aku suka saat dia bermain gitar dengan asal-asalan di tempat duduknya. Aku benci harus mengakuinya. Entahlah Jean. "
" Hm...bukannya kamu sedang suka dengan Kak Romi ya ? "
" Iya. Tapi kan aku sudah pernah cerita kalau Kak Romi tidak tertarik sama sekali dengan pacaran, lagian dia juga sebentar lagi wisuda Jean. "
" Yaudah, kalau gitu silahkan ajalah deketin Deni. Hihi "
" Tapi Jean, dia juga dekat sama Emil. " Renata mulai ragu karena Emil adalah teman karibnya sejak ia baru bisa membaca dan menulis. Terlebih lagi, Emil yang rupanya seperti bunga mawar di tengah padang rumput, cantik dan menawan.
" Ya..itu terserah kamu sih mau gimana. Jalani yang menurutmu itu baik buat kamu Ren. Kalau kamu sedikit tersesat seperti dulu, aku masih disini kok. Apapun keputusanmu, aku disisimu Ren. " Jean memandang sahabatnya itu dengan senyuman tulus.
Renata memeluk sahabat satu kontrakannya ini. Teringat dulu Jean lari tergesa-gesa ke rumah Renata saat mendengar ia putus dari pacarnya, Davi. Namun kini Renata bingung, ia tidak bisa memutuskan sisi yang mana yang harus ia pilih. Ia tidak yakin Deni melihatnya lebih dari teman, kalaupun ia mau berusaha untuk mendekati Deni, ia tidak bisa menyakiti Emil begitu saja. Dan akhirnya Renata akan memutuskan esok saat ia menyelesaikan kopi paginya.
***
" Renata. " Deni menyorkan 2 lembar kertas pada Renata.
" Apa ini ? "
" Tiket gratis. Lumayan kan buat kalian. "
" Kenapa ngasih ke aku ? "
" Hm..well, entahlah. Aku pingin aja. Kamu bisa datang bareng Emil atau Jean. " Senyum Deni mengembang sempurna di wajahnya.
" Kok kamu ngga mention pacar dipilihannya. "
" Aku yakin kamu ngga punya pacar sih. "
" Sok tau. "
Deni tidak peduli jawaban terakhir Renata, ia sudah duduk rapih di samping Renata dan bermain dengan tabletnya. Renata gugup, ia senang, tapi juga biasa saja. Kadang, ia berpikir kalau Deni itu punya dunia sendiri dimana orang lain tidak bisa masuk ke dalamnya. Tapi kadang, Deni menjadi sosok sosial yang menyenangkan. Dan Deni, punya badan yang bagus, proporsional, pas dengan baju apapun yang dia kenakan, entah itu kaos atau kemeja, entah itu celana basket atau jeans.
***
Emil yang menemani Renata malam ini. Jean sedang asyik dengan pacar barunya, ia tidak bisa menemai Renata.
" Serius Deni ngasih tiket gratis ke kamu ? Kok bisa ? "
" Ngga tau deh Mil. Yaaahh...yang penting makan gratis lah. Haha. " Renata menyembunyikan tujuannya selain makan, memperhatikan Deni tampil di atas panggung.
" Hm...Mil, aku mau pengakuan nih. " Renata memulai dengan ragu-ragu, takut akan tanggapan Emil nantinya.
" Apa ? "
" Hm...menurut kamu, terlihat bodoh ngga kalau aku suka sama Deni ? " Renata sedikit berbisik mengucap nama Deni.
" Ahahahaha. Ngga lah Ren. Itu hak kamu mau suka siapa aja dan ngga ada rasa suka yang terlihat bodoh. Kecuali kamu suka sama abang bakso yang sering lewat depan kontrakanmu sih, itu terlihat, emm aneh. "
" Tapi kan terlihat tidak sepandan. "
" Apanya yang ngga sepadan ? Kalian kan satu kelas, itu artinya kalian sama. Semua manusia sama Ren dimata Tuhan. Jadi santai ajalah. "
" Tapi, aku ngga yakin dia tertarik sama aku. "
" Tau darimana coba ? Kamu emang pernah nanya ke dia ? "
" Ngga mungkin lah. "
" Nah...kalau gitu ngga ada yang tau kan. "
Renata menimbang-nimbang perkataan Emil, ada benarnya. Dia terlalu takut dengan perasaannya ke Deni, padahal dia tidak pernah tau kemungkinan yang ada dari Deni untuk dia. Malam itu, Renata terhipnotis dengan permainan Deni, lagi.
***
Hari ini rencananya Emil, Deni, dan Renata makan malam bareng di rumah makan milik keluarga Emil. Dulu Renata sering makan di sini bersama keluarga Emil namun semenjak ia berbeda kampus dengan Emil, sudah semakin jarang ia makan diluar barng Emil lagi.
" Udah lama ? " Suara Deni mengagetkan Renata yang sedag asik membaca novel.
" Hm..ngga juga. " Renata membalas ala kadarnya dan matanya tidak berpindah sedikitpun dari novelnya.
Deni memilih duduk di sebelah Renata dan langsung asik dengan tablet miliknya. Mereka berdua tampak seperti dua orang yang asing yang kebetulan harus duduk pada meja yang sama karena rumah makan yang ramai, padahal saat itu hanya ada beberapa pengunjung yang datang. Beberapa menit kemudian Emil datang, dengan seseorang.
" Hai, udah pada lama ya ? " Emil menyapa keduanya yang tengah asik dengan kesibukan masing-masing.
" Ngga juga." Renata dan Deni menjawab hampir pada waktu bersamaan.
" Kalian serasi banget sih sampe jawab barengan gitu. Eh iya, aku bawa temen ngga papa ya ? "
Renata dan Deni melihat seseorang yang bersama Emil. Tubuhnya yang tinggi tidak kalah bagus dari tubuh Deni, wajahnya sedikit blasteran, dan mukanya menyiratkan bahwa ia adalah seseorang yang baik hati. Dia tersenyum saat Emil memperkenalkan dirinya, namanya Mark. Setelah mereka resmi saling kenal, situasi selajutnya adalah mereka menunggu dengan tidak sabar makanan datang sambil bersenda gurau bersama. Namun selama situasi itu terjadi, Renata sering sekali mecuri pandag pada wajah Deni. Ia memperhatikan apakah Deni cemburu dengan Emil yang datang dengan seorang pria atau tidak. Tapi tidak ada kesimpulan yang bisa didapatkan oleh Renata, Deni terlalu pintar menyimpan ekspresi aslinya dibalik tawanya yang terdengar cukup kencang malam itu.
Masing-masing dari mereka puas dengan makanan yang mereka santap malam ini. Porsi yang disediakan juga cukup membuat mereka kenyang walaupun tidak sampai merasa penuh.
" Ren, kamu tadi kesini naik apa ? Pinjem mobil Jean ? " Emil bertanya sambil masih mengaduk jus alpukatnya yang tinggal setengah.
" Oh, ngga, tadi aku nebeng sama Jean. Kebetulan tadi dia mau ke supermarket. "
" Terus pulangnya gimana ? Dijemput Jean juga ? "
" Ngga nih, belum tau, naik taksi mungkin, hehe." Renata cengengesan dengan jawabannya, padahal dalam hati ia sama sekali tidak tau cara ia pulang ke rumah bagaimana.
" Hm..ikut aku aja yuk. Aku anter, Mark juga pasti ngga keberatan. Iya kan Mark ? " Emil menoleh pada Mark yang sedari tadi ikut memeperhatikan perbincangan mereka, atau mungkin memperhatikan Emil.
" Iya, boleh aja. " Mark menjawabnya dengan lugas ditambah sesungging senyum tampan miliknya.
" Ngga usah deh. Aku kan ngga bakat jadi obat nyamuk, hahahaha. "
" Sialan. Siapa bilang kamu obat nyamuk. Udah bareng aku aja. "
" Ngga usah deh. Kalo kamu ngantar aku kan harus muter dulu, sedangkan rumah kamu kan cukup jauh Mil. "
" Hm...yauda, Den, anterin Rena ya. " Emil langsung menyodorkan pernyataan gamblang itu pada Deni. Yang disinggung tersedak spontan.
" Ha ? Kok jadi gue ? "
" Ya...kan ngga papa Den. Lagian rumah kamu ngga terlalu jauh dari rumah Rena kan ? "
Deni hanya mengangguk saja, tidak ada gunanya berdebat dengan Emil, karena pada akhirnya Deni akan mengiyakan semua permintaan Emil.
  "Aku titip Rena ya. Awas lho kalo dia ngga selamat sampe rumah. " Emil sudah mengacung-acungkan pisau steaknya yang disodorkan pisau hanya tersenyum jahil, dan itu kontan membuat bibir Emil mengerucut. Deni hanya tertawa melihat muka Emil yang berubah lucu seketika itu.
Renata tidak pernah berencana bahwa ia suatu hari akan naik mobil Deni. Dulu ia pernah bercita-cita naik mobil Kak Romi dan itu tidak pernah terwujud hingga ia patah hati karena toh ternyata Kak Romi tidak pernah melihatnya. Dalam perjalanan mereka sedikit sekali ngobrol, hanya hal-hal kecil yang mereka bicarakan seperti musik kesukaan mereka - yang kebetulan mereka memiliki selera yang sama- ataupun tentang perkuliahan mereka yang semakin padat jadwalnya mengingat mereka sebentar lagi ujian akhir semester.
Renata sudah sampai di rumah, Jean sudah tidur karena saat ia datang, rumah sudah dalam keadaan gelap. Deni mengantarkannya sampai ke depan rumah walaupun pada awalnya Renata menolak. Malam itu Renata kembali tidak bisa tidur ia masih menebak-nebak apakah Deni cemburu saat Emil datang bersama Mark tadi atau tidak. Dan nyalinya yang tidak cukup banyak juga membuatnya tidak berani untuk menanyakannya langsung pada Deni.
***
Renata mulai sibuk mempersiapkan diri untuk ujian akhir semesternya. Jean juga melakukan hal yang sama. Kini tidak hanya Renata yang terbangun sampai subuh, tapi Jean juga. Terkadang Deni datang ke kontrakan mereka untuk belajar bersama. Renata semakin dekat dengan Deni, tapi tetap saja ia tidak banyak tau tentang Deni. Mereka memang sering bercanda bersama atau ngobrol bareng di kelas. Tapi di luar itu, mereka tidak pernah berkomunikasi sedikitpun entah itu chatting atau sms. Renata bahkan tidak tau nomer handphone Deni.
" Jean ? " Renata mulai angkat bicara saat sepi tengah menyergap mereka yang sibuk dengan bahan bacaan masing-masing.
" Hm.." Yang disebut namanya hanya menjawab ala kadarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku kuliahnya.
" Ngga jadi deh, nanti aja. " Melihat Jean yang sibuk Renata mengurungkan niatnya untu bertanya. Renata kembali ke bukunya, namun pikiran itu tetap mengganggu konsentrasinya. Jean yang cukup tau arti dari setiap ekspresi wajah Renata lalu menutup bukunya dan berbalik memandang Renata.
" Kenapa Ren ? " Tanya Jean halus pada Renata seraya menyeruput kopinya yang mulai dingin.
" Aku mau berhenti suka sama Deni kayaknya. "
" Eh ? Seperti saat kamu bilang mau berhenti memperhatikan Kak Romi tapi kamu bahkan tau kapan dia maju sidang untuk skripsinya ? "
" Literally Jean. Dunianya susah untuk dimasuki. Bahkan aku ngga pernah tau apa dia punya perasaan untuk Emil atau salah satu teman kita di kelas. " Muka Renta mulai menyiratkan muka desperate nya.
" Ren, menurut aku rasa suka itu ngga bisa disuruh stop gitu aja. Ada sistem di otak kita yang tidak mengindahkannya. Bahkan orang pacaran yang putus aja bisa balikan lagi. Itu artinya kamu ngga bisa bikin lampu merah tiba-tiba untuk perasaanmu. Tapi, well Ren, sometimes life is crap. Tergantung kamu mau nanggepinnya gimana. Kamu yang punya keputusan untuk hidupmu sendiri Ren, aku disini cuma sebagai orang ketiga dalam hidupmu."
Jean kembali ke bukunya. Renata juga kembali ke bukunya, namun pandangannya kosong. Ia membenarkan beberapa perkataan Jean karena dia pasti tidak akan bisa menolak tiket gratis yang dikasih Deni, walaupun tiket itu akan mengantarkannya pada kekaguman yang bertambah kepada Deni.
***
Tahun terakhir diajalani dengan banyak pikiran stres. Mulai dari mencari tempt magang sampai mengerjakan skripsi yang selalu bisa menyita waktu. Deni tetap seperti dulu pada Renata. Suka duduk tiba-tiba di sebelah Renata, sering memberikan tiket gratis pada Renata walaupun kebanyakan Renata tolak dengan alasan ia sibuk mengerjakan skripsinya. Terlebih Renata sudah mulai magang di suatu perusahaan sebagai Human Resources Department mereka. Jean masih tetap dengan pacaranya dan ia juga masih setia menemani Renata, walaupun Renata kini sudah dibelikan mobil oleh ayahnya namun bagi Jean, lebih baik menggunakan satu mobil saja kalau memang urusannya bersamaan.
Wisuda merupakan salah satu kejadian bersejarah dalam hidup. Karena dari situlah dimulai kehidupan yang baru, kehidupan yang benar-benar memaksa diri kita untuk jalan dengan kaki sendiri. Wisuda kampus dilaksanakan siang ini, di aula kampus yang memang mewah dan besar. Renata lulus dengan cumlaude, Jean dan Deni tidak kalah juga. Renata sudah mendapat tawaran pekerjaan yang langsung ia sanggupi dengan menjadi staff di sebuah perusahaan di Bandung. Sedangkan Jean memutuskan untuk melanjtkan S2 langsung di sebuah universitas di luar negri, terlebih karena ia mendapatkan beasiswa untuk kesana. Dan Deni, Renata hanya pernah dengan bahwa Deni mendapat pekerjaan di Yogyakarta. Renata tidak pernah tau kebenarannya, ia tidak mau mempersilahkan dirinya untuk bertanya. Dan apa yang Jean katakan tahun lalu itu benar bahwa ia tidak bisa tiba-tiba memberhentikan perasaannya pada Deni, bahkan sampai sekarang. Tapi ia memilih untuk mundur beberapa langkah untuk membiasakan diri tanpa Deni.
***
Hari ini genap satu tahun Renata bekerja di Bandung. Tempo hari dia skype dengan Jean yang bercerita panjang lebar soal ia dilamar oleh pacarnya. Iya, Jean akan menikah dnegan pacarnya dulu saa ia dan Renata masih sebagai mahasiswi. Tadi pagi ia dapat kejutan dengan kedatangan Emil yang tiba-tiba mengingat Emil juga seperti Jean yang melanjutkan S2 di luar negri. Dan disinilah mereka, di sebuah rumah makan khas masakan Bandung untuk makan siang bersama.
" Gimana Ren kerja disini ? " Emil bertanya dengan tetap konsentrasi pada nasi liwetnya.
" Hm..nyaman Mil, aku bahkan udah ditawarin mau lanjut S2 di universitas terdekat atau ngga. "
" Terus kamu terima ngga ? "
" Iyalah Mil, aku ngga mau ketinggalan sama kamu dan Jean, awal tahun ajaran nanti aku udah masuk. Kamu gimana disana ? Pasti Paris keren banget deh. "
" Keren sih. Banyak objek bagus tiap hari yang bisa dijadiin inspirasi tugas. Hehe " Emil memang harus punya banyak inspirasi baru mengingat ia menggeluti dunia interior design.
" Haha..Tapi aku yakin banget kangenmu sama nasi pasti gede banget. Itu nasi liwet sampe tercerai berai gitu, haha. "
" Iyalah Ren, aku jarang makan nasi sih di sana. ohiya, Deni gimana ? " Emil tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang bahkan Renata tidak tau mau jawab apa.
" Gimana apanya ? "
" Ya..kabar dia sekarang. Kalian kan bareng-bareng di Indonesia, masa ngga saling ngasih kabar sih ? "
" Ngga Mil, yang aku tau terakhir sih, dia dapet kerjaan di Jogja, ngga tau dia terima atau ngga. " Renata sudah semakin gugup dengan topik pembicaraan yang diangkat Emil.
" Hm..gitu. Kamu masih suka kan sama dia ? " Renata kontan tersedak dengan pertanyaan gamblang Emil.
" Kan aku dulu udah pernah cerita Mil kal aku mau nyerah aja. "
" Yaaahh...kali aja kamu berubah pikiran. "
" Hhh...ngga Mil. Emang lebih baik aku berada di luar dunianya, karena toh aku tidak pernah benar-benar masuk ke dunianya. "
" Ada nanti saatnya kamu dapat yang terbaik Ren. Percaya deh. " Emil menjawab dengan nada diplomatis.
" Yah, mungkin. "
" Eh iya, entar malem makan bareng lagi ya. Ada satu rumah makan yang mau aku datengin, kata mama sih tante Eri buka rumah makan di Bandung. " Keluarga Emil memang banyak yang pengusaha, dari pengusaha kain sampai pengusaha berlian.
" oh iya gitu ? Waaahh...aku harus coba juga nih. Yuk boleh, pake mobilku aja, yang tau bandung kan aku, haha. "
" Huu..sementang udah punya mobil sekarang. "
Mereka berdua menyelesaikan makanan mereka dan Renata harus kembali ke tempat kerjanya.
***
" Tanteeeee .... " Emil langsung menghampiri tante Eri saat ia dan Renata tiba di rumah makan miliknya.
" Hei.." Tante Eri adalah orang yang ramah, Renata sempat dulu beberapa kali bertemu dengannya saat kebetulan Tante Eri berkunjung ke rumah Emil
" Apa kabar tante ? "
" Baik.. Kamu apa kabar ? "
" Baik doongg..."
" Eh, ada Rena. Apa kabar ? " Tante Eri menyapa Rena yang sedari tadi diam memperhatikan keakraban Emil dan Tantenya.
" Baik tante. "
" Tan, Rena kerja di Bandung juga lho.."
" oh iya ? Sering-sering main ke sini ya Rena. "
" Hm..iya tante "
" Yaudah, kalian duduk dulu gih, tante masih ada yang diurus dulu. "
Setelah itu Renata dan Emil sudah memilih tempat duduk strategis di dekat panggung. Di rumah makan ini biasanya ada beberapa tamu yang mau menyumbangkan suaranya di depan pengunjung, entah itu suara yang bagus atau suara yang pas-pasan.
Renata menatap panggung yang kosong itu dengan tatapan menerawang. Ia teringat saat dulu ia mendapat tiket gratis dari Deni. 'Hah..Deni lagi'. Renata mendesah perlahan, di sudut hatinya ada satu titik yang mengatakan bahwa ia ingin sekali lagi melihat Deni bermain dengan gitarnya, mungkin bisa dikatakan ia, kangen.
" Hm...Ren, kalau Deni nembak kamu, kira-kira kamu terima ngga ? " Pertanyaan tiba-tiba itu sontak membuat Renata tersedak.
" Ha ? Kamu kenapa sih Mil, daritadi siang nyinggung Deni mulu. "
" Ya...kan ngga papa, aku pingin tau aja, terima ngga ?"
" Kalau dulu, mungkin aku terima Mil. "
" Kalau sekarang ? "
" Entahlah, kan aku sudah bilang mau berhenti menyukainya. "
" Berarti masih ada kemungkinan kan ? "
" Udah deh Mil...Kamu punya rencana apa sih ? "
Emil hanya tersenyum jahil atas pertanyaan Renata. 'You'll see..' Hanya itu kata-kata yang terlintas dalam hati Emil.
Hari semakin larut, makanan Renata dan Emil sudah berpindah dari piring ke perut liar mereka berdua. Mereka masih menikmati minuman mereka masing-masing saat seseorang membawa gitarnya naik ke atas panggung.
" Selamat malam semuanya. "
Renata kenal suara itu, suara yang dulu pernah ia kagumi. Ia menghentikan mengaduk jusnya dan melihat ke panggung, dan ya, lelaki itu di sana, masih dengan badan bagusnya, sudah duduk manis pada bangku tinggi sambil memegang gitar, dia Deni.
" Deni " Renata menyebut nama pria itu pelan, ia mengalihkan pandangannya pada Emil memberikan wajah tanda tanya, Emil hanya mampu tersenyum mengingat rencananya akan berjalan mulus.
" Terima kasih buat Tante Eri yang mempersilahkan saya untuk menggunakan panggung ini, dan terima kasih juga buat untuk Emil yang sudah memberiku rencana brilian. Satu lagu ini khusus aku bawakan untuk seseorang yang telah lama kusuka yang tidak pernah tau bahwa bukan ia yang meyukaiku terlebih dahulu, tapi aku yang tertarik padanya sejak awal. "
Dan permainan gitar Deni mengembalikan lagi perasaan Renata yang sudah lama ia kubur dengan rapih. Suara Deni yang walaupun agak pas-pasan tetap membuat Renata terpaku pada tempatnya. Lagu itu, Pilihanku miliknya Maliq n d'essential, mampu menghipnotis Renata. Dan di akhir lagu, semua rasa itu memenuhi hatinya, ia merasa gagal untuk memberi lampu merah untuk perasaannya.
" Well, Renata Alfisiera, will you marry me ? " Deni memandang Renata dengan tatapan intens. Dan Renata dengan kedua matanya yang kosong menatap Deni yang ada di atas panggung. Emil menyenggol sahabatnya itu untuk menyadarkannya bahwa ia tidak sedang bermimpi. Deni sepertinya belum puas dengan pernyataan dari atas panggung yang mampu membuat semua orang memperhatikannya, ia kini sudah berada di depan Renata, dan dia, berlutut.
" Renata Alfisiera, aku tanya padamu sekali lagi, will you marry me ? " Deni membuka kotak kecil itu, berisi cincin.
Renata masih diam, setetes air matanya jatuh diikuti dengan anggukan pelan darinya. Dan seketika itu Deni tersenyum menang seraya memeluk wanita yang telah lama ia sukai itu.
***
Dalam perjalanan pulang, Renata memberikan semua pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya.
" Apa maksudmu kamu yang tertarik padaku sejak awal ? "
" Hm...memang ia. "
" Tapi kan ... "
" Ren, coba kamu pikir deh, kenapa aku ngasih tiket gratis pertama kali ke Jean ? "
" Entahlah, kamu iseng. "
" Nope. Karena aku tau, satu-satunya orang yang bakal diajak Jean adalah kamu. Karena memang tujuanku adalah supaya kamu hadir. "
" Terus kenapa ngga ngasih langsung ke aku aja ? "
" Kamu ngga ingat kamu marah sama aku gara-gara tempat duduk itu ya ? Mana mungkin kamu mau nerima tiket gratisnya kalau kamu masih marah sama aku. "
" Terus, kenapa kamu ngga nembak aja dari dulu ? "
" Hhh..Aku takut kamu tolak sih. Aku ngga tau kamu juga sebenarnya suka sama aku, aku baru tau waktu tempo hari ketemu sama Emil terus Emil cerita dan muncullah ide yang tadi. "
" Arrgghh..Emil. " Renata merasa malu rahasinya bocor dari mulut sahabatnya sendiri.
" Yaudah, it doesn't matter know, right ? "
" Hm..looks like. " Renata memandang kembali cincin yang tadi diberikan oleh Deni.
" So..we're going to be married huh ? " Deni sudah menghentikan mobil Renata di depan kosnya.
" Yeah, just let's get married. Kamu bawa aja mobilnya, besok anterin aku ke kantor. "
" Sip bos. " Renata sudah turun dari mobil dan menuju rumah kost nya.
" Hei ada yang ketinggalan. " Deni mengejar Renata yang baru saja membuka pintu pagar.
" Apa lagi ? " Dan ketika itu, Deni mendaratkan kecupan mesra di dahi Renata yang seketika itu membuat Renata salah tingkah.
" Good night. " Senyum Deni mengembang, dan Renata, saat itu juga menganggap bahwa tidak apa-apa mulai saat itu untuk membiarkan lampu hijau selalu menyala di hatinya.

Sabtu, 11 Mei 2013

A Birthday To My DADDY



selamat ulang tahun papa tercinta
semoga tetap diberi kesehatan
semoga tetap sukses
tetap sabar
tetap dekat sama Allah SWT
aamiin
I Love You DADDY :)


nb : maaf kakak nd bisa ngucapin langsung :)